Kamis, 04 Februari 2010

Memaksimalkan Potensi Diri

Kita bisa mengaplikasikannya dalam empat tahap pengembangan diri, yaitu: pertama, mengenali diri sendiri. Kedua, memposisikan diri. Ketiga, mendobrak diri. Dan keempat, aktualisasi diri.
Mengenal diri sendiri adalah dasar dari tindakan-tindakan untuk mencapai sebuah cita-cita besar. Dalam 13 Bab Strategi Perang Sun Tzu dinyatakan, "Mengenal kekuatan dan kelemahan diri sendiri sekaligus mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan, maka 100 kali berperang 100 kali menang." Sementara, "Mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri tetapi tidak mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan, maka 100 kali berperang, 50 kali menang 50 kali kalah." Sebaliknya, "Tidak tahu kekuatan dan kelemahan diri sendiri maupun kekuatan dan kelemahan lawan, maka 100 kali berperang 100 kali pasti kalah."
Dibanding ciptaan Tuhan yang lainnya, boleh dikata manusia adalah ciptaan yang paling sempurna. Kesempurnaan di sini dapat dilihat dari kelengkapan sisi-sisi manusia itu sendiri, yaitu ada kebaikan ada pula keburukan. Ada kekuatan ada pula kelemahan. Manusia sebagai makhluk berpotensi yang selalu bertumbuh menuju aktualisasi dirinya, harus mengenali kedua sisi tersebut sebaik-baiknya.
Contoh: setelah menganalisis diri dengan saksama, kita dapati bahwa kita memiliki kekuatan personal seperti kreatifitas, ketajaman analisis, penerimaan terhadap hal-hal baru, semangat belajar yang tinggi, serta cita-cita atau tujuan-tujuan pribadi yang mulia. Tetapi pada saat yang sama, kita merasa memiliki kelemahan seperti kurang disiplin, tidak fokus, kurang konsisten, tidak berani mencoba, atau tidak berani ambil risiko.
Pada kasus ini, kita lihat betapa kekuatan berupa potensi-potensi diri yang istimewa menjadi sulit berkembang, karena kelemahan-kelemahan yang tidak bisa dikendalikan atau dikelola dengan baik.
Titik krusialnya di sini adalah, memaksimalkan potensi atau kekuatan dan sekaligus meminimalkan pengaruh kelemahan kita. Caranya: pertama berkomitmen untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan tersebut.
Kedua, melakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk menghentikan pengaruhnya setiap kali kelemahan diri tersebut muncul.
Ketiga, menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan baru yang mendorong mencuatnya potensi kita, dan pada saat bersamaan membenamkan kelemahan-kelemahan kita.

Perang dengan Kemiskinan Mental

Beberapa bulan terakhir ini, kita semua tak lepas dari wacana kebangkitan bangsa Indonesia. Para politisi, pengusaha, cendekiawan, agamawan, akademisi, mahasiswa, dan hampir semua kalangan, dengan bersemangat membicarakan bagaimana membangkitkan kembali bangsa yang besar ini. Siapa yang harus memulai bekerja keras membangkitkan Indonesia kembali? Para pemimpin? Atau "mereka" di luar sana? Atau justru harus dimulai dari diri kita sendiri?
Pada 2400 tahun yang lalu, berlaku prinsip kill or to be killed, membunuh atau dibunuh. Supaya survive maka harus berperang membunuh musuh. Filosofi survival zaman kehidupan Sun Tzu ini, sesungguhnya masih ada relevansinya! Tentu saja, relevansinya bukan pada membunuh orang lain. Dalam konteks bangsa ini, peperangan sesungguhnya tidak terjadi "di luar sana", melainkan perang terjadi "di dalam diri kita". Artinya, kita harus berperang melawan kemiskinan mental yang sekian lama telah membelenggu diri kita.
Apa itu kemiskinan mental? Kemiskinan mental adalah sebuah kondisi mental kejiwaan atau orientasi hidup seseorang yang dipenuhi oleh kebiasaan-kebiasaan negatif, yang sifatnya sangat menghambat kemajuan. Contohnya; malas, pesimistik, prasangka buruk, suka menyalahkan pihak lain, dan iri pada keberhasilan orang lain. Mental miskin juga ditunjukkan dari perilaku yang tidak disiplin, tidak punya kepercayaan diri, tidak bertanggung jawab, tidak jujur, tidak mau belajar, tidak mau memperbaiki diri, dan tidak punya visi ke depan. Inilah peperangan yang harus kita menangkan saat ini.
Bayangkan! Seandainya setiap dari kita, mulai saat ini, detik ini juga, satu demi satu tergerak untuk mengalahkan mental miskin. Berjuang memenangkan medan pertempuran menuju kepada kekayaan mental. Yaitu mental yang penuh rasa tanggung jawab, disiplin, kerja keras, percaya diri, berkemauan untuk selalu belajar, pantang berputus asa, dan memiliki visi ke depan.
Jika kita semua memiliki kekayaan mental, pasti kita akan survive dalam kehidupan yang makin kompetitif. Peluang kita untuk meraih cita-cita akan semakin besar. Dan kita bisa memandang masa depan kita dengan lebih optimistik.
Bukan tidak mustahil, berangkat dari kebangkitan mental diri kita masing-masing, maka kita telah ikut ambil bagian dalam membangkitkan kembali kejayaan negeri tercinta ini. Jadi jelas jawabnya, jika ingin Indonesia berdiri tegak sama terhormatnya dengan bangsa lain, kita semua harus memulainya dari diri kita masing-masing.

Menggapai Sukses Sejati

Menggapai Sukses Sejati

Mungkin Anda dan saya sering menyaksikan betapa kesuksesan, puncak keberhasilan, atau tercapainya cita-cita, terkadang justru memunculkan semacam krisis eksistensi. Keberhasilan-keberhasilan memang bisa membawa seseorang ke posisi puncak dan bergelimang popularitas. Namun, tak jarang justru pada saat berada di puncak kesuksesan karir itulah seseorang mulai mempertanyakan apa sesungguhnya tujuan hidupnya yang sejati.
Memang, kesuksesan harus ditapaki dengan perjuangan, pengorbanan, konsistensi, dan kerja keras. Semua orang ingin berhasil dan tidak ada sukses yang gratis. Banyak orang salah menafsirkan dan menganggap bahwa kesuksesan tidak memiliki ekses negatif sama sekali. Ini salah! Sukses pasti memiliki ekses negatif jika diraih dengan cara-cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar kemanusian. Misalnya, sukses diraih dengan mengorbankan orang lain atau mengingkari keyakinan kita yang paling dalam. Tetapi ingat, sukses yang diraih dengan cara-cara yang benar sekalipun bisa mendatangkan akibat-akibat negatif.
Popularitas para pesohor misalnya, selain mendatangkan kekayaan, nama besar, pemujaan, bahkan fanatisme, ternyata juga bisa mendatangkan gangguan-gangguan psikologis. Misalnya: kesepian, keterasingan, stres, depresi, neurotik, megalomania, dan ujung-ujungnya lari ke perilaku abnormal atau narkotika. Kita pasti ingat apa penyebab kematian para pesohor seperti Elvis Presley, Marlyn Monroe, John Lenon, dan Bruce Lee. Sukses spektakuler mereka ternyata diikuti pula dengan tekanan-tekanan mental yang ternyata tidak berhasil mereka kuasai. Akhirnya, sukses itu menjadi bumerang dan menghancurkan hidup mereka sendiri.
Sukses itu tidak identik dengan tercapainya semua keinginan material, berlimpahnya harta kekayaan, popularitas atau nama besar. Apa artinya sukses jika itu diraih dengan mengorbankan harga diri, mengorbankan nilai dan keyakinan yang paling dalam, mengorbankan keluarga, saudara, sahabat, atau teman-teman sendiri.
Sukses sejati adalah sukses yang membuat kita merasa bersyukur telah menjadi manusia yang seutuhnya. Sukses yang membuat kita tergerak untuk menularkan dan membantu orang lain mencapai kesuksesannya. Sukses yang membawa manfaat dan kebahagiaan bagi banyak orang. Jika saat ini kita sedang berjuang menggapai sukses, jangan pernah lupa meletakkan tujuan kemanfaatan bagi sesama itu, ke dalam fondasi rancang bangun perjuangan kita. Maka, sukses sejati pasti kita raih!

Empat Tahap Pengembangan Diri

MEMPOSISIKAN DIRI
Setelah kita bisa mengenali kekuatan dan kelemahan diri dengan tepat, tugas kita berikutnya adalah memposisikan diri. Artinya, hasil analisis diri sebelumnya kita gunakan untuk menempatkan diri kita pada peranan yang tepat. Jika kita merupakan tipe pekerja keras, menyukai karier kerja, dan memiliki potensi besar untuk dikembangkan di dunia kerja, maka fokus usaha harus kita arahkan pada jenis pekerjaan yang cocok. Setelah berhasil menentukan peran, kita harus berani menetapkan target tertentu serta bertekad bulat untuk mencapainya.
Misalnya, tipe kita adalah wirausahawan. Maka tentu saja kita akan kesulitan dan tidak betah menjadi pekerja atau karyawan. Pilihan harus diambil supaya kita tidak terpenjara dalam dunia kerja, yang sudah pasti tidak mampu menampung luapan kreativitas dan semangat kewirausahaan kita. Tahap memposisikan diri adalah tahapan paling krusial. Ini menentukan apakah kita berada pada arah yang benar dan jalan yang benar. Seberapa pun kerasnya usaha kita, jika petanya—arah dan tujuannya—itu salah, kita tidak akan pernah sampai ke tempat tujuan.